Republik Desa, Demokrasi Desa



Budayawan Belanda, J.F. Liefrinck(1886-1887) pernah melakukan penelitian di Buleleng Bali Utara yang  merumuskan pengertian desa:  yang memberikan rasa nyaman bagi orang Bali. Desa versi Liefrinck adalah sebuah republik kecil yang memiliki hukum atau aturan adat sendiri. Desa adat merupakan wujud dari desa-desa yang bebas dari tekanan luar. Susunan pemerintahan desa bersifat demokratis dan memiliki otonomi.


Meskipun konsep republik kecil itu tidak begitu populer di zaman Republik Indonesia, tetapi otonomi dan demokrasi – yang menjadi penanda republik kecil – senantiasa menghiasi perbincangan tentang desa. Tetapi kami sempat memperoleh kejutan kecil, yakni menemukan artikel pendek yang disusun oleh sejumlah tim ahli pendukung Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004 yang bertitel: Membangun Republik Desa – Sebuah Strategi Kebudayaan: Rekonstruksi Pemikiran Jenderal TNI Dr. Susilo Bambang Yudhoyono.  Sayang artikel ini tidak begitu jelas dalam memaknai republik desa, dan artikel ini juga tidak berkembang luas ke ranah publik.

Demokrasi merupakan prinsip penting dalam republik, yang dibedakan dengan monarkhi, meskipun ada monarkhi konstitusional yang demokratis. Tetapi menurut pandangan kami, republik desa pada dasarnya semua hal dalam desa dikelola dengan mekanisme publik. Setiap warga desa mempunyai hak menyentuh, membicarakan bahkan memiliki setiap barang maupun proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Desa tidak boleh secara kosmologis dikungkung sebagai institusi parokhial (agama mupun kekerabatan) maupun institusi asli (adat), tetapi juga harus berkembang maju sebagai institusi dan arena publik. Sebagai contoh, meskipun ada desa adat mempunyai karakter monarkhi, tetapi dia juga harus menjalakan spirit dan institusi republik seperti fungsi permusyawaratan, musyawarah desa, mengelola barang-barang publik dan melakukan pelayanan publik. Sebagai republik, desa tidak hanya membicarakan dan mengelola isu-isu agama, kekerabatan dan adat, melainkan juga mengurus isu-isu publik seperti sanitasi, air bersih, kesehatan, pendidikan, lingkungan dan lain-lain. Seorang pengurus Majelis Utama Desa Pakraman Bali pernah berujar: “Berarti desa adat tidak hanya mengurus pura, tetapi juga harus mengurus got yang mampet”.

Spirit dan institusi republik desa itu harus dikelola dengan demokrasi. Demokrasi macam apa? Orang cenderung romantis jika bicara demokrasi desa. Orang Minang biasa bicara: “Kalau mau melihat demokrasi yang sejati, datanglah ke nagari, lihatlah Kerapatan Adat Nagari”. Di tempat lain, ada seorang aktivis yang yakin betul bahwa demokrasi masih betul-betul hidup di desa. “Kalau bicara demokrasi di Indonesia, mari kita lihat ke desa. Di sanalah demokrasi masih hidup, meski tidak ada demokrasi substansial di level nasional”, demikian tuturnya. Dia menyebutkan sejumlah indikator pembukti demokrasi desa: pemilihan langsung kepala desa, tradisi forum-forum RT sampai rembug desa sebagai arena pembuatan keputusan kolektif yang demokratis, terjaganya solidaritas komunal (gotong royong) antarwarga, warga masyarakat yang saling hidup damai berdampingan dan inklusif, dan sekarang tumbuh BPD yang dipilih secara demokratis.

Pembelaan terhadap demokrasi desa memang tidak hanya dimonopoli oleh aktivis. Masih banyak pembela lain terhadap demokrasi (asli) desa. Seorang pendiri republik Indonesia, Mohammad Hatta, pernah berujar: “Di desa-desa sistem yang demokratis masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian adat-istiadat yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama, sewaktu menyelenggarakan kegiatan ekonomi”. Hatta juga menegaskan bahwa struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus berdasarkan pada tradisi demokrasi asli yang berlaku di desa.

Soetardjo Kartohadikoesoemo, penulis buku Desa, lebih serius dan komplet lagi dalam membela demokrasi desa. Paling tidak, kata Soetardjo, demokrasi desa dulu dibingkai dengan tiga tata yang dihasilkan dari “kontrak sosial” masyarakat setempat: tata krama (fatsoen), tata susila (etika) dan tata cara (aturan main) atau rule of law. Tata krama dan tata susila adalah bentuk budaya demokrasi yang mengajarkan toleransi, penghormatan terhadap sesama, kesantunan, kebersamaan, dan lain-lain. Tata cara adalah sebuah mekanisme atau aturan main untuk mengelola pemerintahan, hukum waris, perkawinan, pertanian, pengairan, pembagian tanah, dan lain-lain. Dalam konteks tatacara pemerintahan, desa zaman dulu sudah memiliki pembagian kekuasaan ala Trias Politica: yang terdiri dari eksekutif (pemerintah desa), legislatif (rembug desa) dan yudikatif (dewan morokaki). Rembug desa terdiri dari seluruh kepala keluarga di desa yang secara politik sebagai pemegang kedaulatan rakyat di desa.

Beberapa studi lainnya juga menunjukkan bahwa rembug desa atau rapat desa merupakan sebuah wadah demokrasi deliberatif (permusyawaratan) desa, yang memegang kedaulatan tertinggi di atas kedudukan lurah (eksekutif), meski lurah adalah ketua rembug desa. Rembug desa, yang mewadahi lurah dan perangkatnya, para tetua desa, tokoh masyarakat dan seluruh kepala keluarga, menjadi tempat bagi rakyat desa membuat keputusan secara langsung dan memilih lurah dengan mekanisme permusyaratan (musyawarah). Basis ekonomi warga masyarakat yang relatif setara memungkinkan proses permusyawaratan (deliberation) berjalan dengan baik tanpa dominasi orang-orang kaya. Akan tetapi rembug desa juga punya dua kelemahan. Pertama, proses deliberasi cenderung didominasi oleh para tetua desa, yang kurang mengakomodasi warga yang muda usia. Dengan kata lain, ketergantungan warga masyarakat terhadap tetua desa sangat tinggi. Kedua, rembug desa adalah wadah kepala keluarga yang kesemuanya kaum laki-laki, sehingga tidak mengakomodasi aspirasi kaum perempuan. Seperti pengalaman demokrasi langsung di Yunani Kuno, tata cara pemerintahan dan pengelolaan publik di desa konon menempatkan kaum perempuan sebagai warga kelas dua yang hanya bekerja di sektor domestik.

Ketika banyak orang bersikap romantis terhadap tradisi demokrasi masa lampau dan berusaha membela desa di hadapan negara, banyak juga orang lain yang menyangsikan demokrasi desa. Sejarawan UGM, Prof. Bambang Purwanto, menegaskan pendapatnya: “Jangan bersikap romantis terhadap demokrasi desa. Itu pengaruh buku Soetardjo. Desa itu kan “negara kecil” yang selalu didominasi oleh para elite. Otonomi  yang sekarang berkembang bisa mengarah pada refeodalisasi”.

Pandangan yang kritis itu sudah muncul lama. Banyak studi yang menunjukkan kemerosotan demokrasi desa.Sebagai contoh adalah Yumiko M. Prijono dan Prijono Tjiptoherijanto, dalam bukunya Demokrasi di Pedesaan Jawa (1983), yang menunjukkan kemunduran demokrasi desa sepanjang dekade 1960-an hingga 1970-an. Keduanya menunjukkan dua kata kunci dalam demokrasi tradisional desa yang dulu pernah hidup: gotong royong dan musyawarah. Tetapi, mereka mencatat bahwa demokrasi desa rupanya telah mengalami kemunduran karena perubahan sosial-ekonomi dan pergeseran kepemimpinan kepala desa. Mereka mencatat beberapa bukti kemunduran demokrasi desa di era modern. Pertama, lurah (kepala desa) tidak lagi menggunakan cara demokrasi, tidak lagi menjadi “bapak” bagi rakyatnya, kades lebih menjadi administrator ketimbang menjadi pemimpin. Kedua, pertumbuhan penduduk telah menyebabkan keterbatasan tanah sehingga tidak ada lagi pemerataan dan kepemilikan tanah secara komunal. Ketiga, masuknya partai-partai politik ke desa yang menyebabkan berubahnya struktur kekuasaan desa. Keempat, kemunduran demokrasi tradisional juga disebabkan oleh polarisasi kemerdekaan, konflik mengenai land reform,  meluasnya pembangunan pertanian dan desa, yang kesemuanya menimbulkan perubahan fungsi ekonomi kades dan keikutsertaan masyarakat dalam proses politik dan pembangunan desa.

Buku ini melampaui (beyond) pandangan romantis dan pandangan kritis itu. Republik desa yang demokratis bisa diorganisir dan diciptakan. UU Desa telah memberikan kerangka institusional untuk melembagakan demokrasi desa, mulai dari aspek kepemimpinan, akuntabilitas, partisipasi, deliberasi, representasi dan sebagainya. Institusionalisasi dan pendalaman demokrasi desa membutuhkan pembelajaran, pendampingan, pengorganisasian, geradakan, kaderisasi dan seterusnya.


Kepemimpinan Kepala Desa

Di masa silam ketika belum ada kolonialisme dan negara, desa merupakan kesatuan masyarakat adat (self governing community) yang dikelola berdasarkan pranata lokal. Dalam konteks paternalisme yang sangat kuat, kades adalah tetua desa yang mempunyai posisi sangat kuat dalam menjalankan fungsi melindungi dan menyejahterakan  warga desa. Karena itu fungsi sosial-ekonomi merupakan karakteristik dasar fungsi kades.

Tetapi ketika kolonialisme masuk di nusantara, fungsi sosial-ekonomi mulai bergeser ke ekonomi-politik. Pemerintah kolonial mengendalikan penduduk dan tanah desa melalui berbagai cara: penundukan terhadap pemimpin lokal, sistem wajib penyerahan hasil tanaman, pengutan pajak tanah, maupun sistem tanam paksa.  Para kades mendapat peran sentral dan menjadi ujung tombak sistem tanam paksa. Kades berwenang menentukan tanah yang akan ditanami tebu maupun pengorganisasian penanaman dan pengerahan tenaga kerja untuk perkebunan. Kewenangan ini membuat kades bertambah kaya. Sejak masa kolonial itulah, fungsi sosial kades tetap masih bertahan, tetapi yang lebih menguat adalah posisi ekonomi-politik. Kades mempunyai posisi ganda: sebagai pemimpin rakyat dan sebagai mandor kebun (Frans Husken, 1998).

Pada masa Orde Baru, dengan skema desa korporatis, posisi ekonomi-politik kades di Jawa sangat kuat. Ia dipilih langsung oleh rakyat untuk bertindak sebagai pamong desa, serta mengatur alokasi kekuasaan dan kekayaan di desa. Negara menjadikan desa sebagai obyek regulasi dan pembangunan, terbukti semua departemen, kecuali Departemen Luar Negeri, mempunyai proyek di desa. Pemerintah juga menempatkan kades sebagai alat negara dan ujung tombak politik dan pembangunan di desa. Secara politik kades merupakan “penguasa tunggal” desa yang tidak terkontrol rakyat. Secara ekonomi, para kades di Jawa relatif kaya bukan semata karena tanah bengkok, tetapi sistem birokrasi membiarkan para kades mengutip bantuan desa, uang administrasi dan proyek-proyek pembangunan.  

Tetapi sejak 1998 posisi ekonomi-politik kades mengalami krisis yang serius. Di Jawa, misalnya, sejak Juli 1998, banyak kades bermasalah yang terkena “reformasi” (digulingkan) oleh rakyatnya sendiri. Ini menandai  babak baru relasi antara kades dan rakyat. Rakyat semakin kritis dan akrab dengan jargon TPA (transparansi, partisipasi dan akuntabilitas). Para kades sangat sadar akan perubahan ini. Kehadiran UU No. 22/1999 sebenarnya hendak mengubah karakter desa korporatis menjadi karakter desa sipil, atau desa sebagai institusi publik yang otonom dan demokratis. UU ini mengurangi masa jabatan kepada desa sekaligus mengurangi kekuasaan kepala desa, sekaligus memperkuat institusi representasi politik dalam bentuk Badan Perwakilan Desa (BPD). Karena itu posisi penguasa tunggal kades kian berkurang setelah lahir UU No. 22/1999. Kehadiran Badan Perwakilan Desa (BPD) melembagakan kontrol politik terhadap kades. Sebagian besar kasus menunjukkan telah terjadi hubungan yang konfliktual antara BPD dan kades. Kades tidak bisa lagi mengutip bantuan pemerintah, sehingga pendapatan mereka berkurang drastis.

Hubungan konfliktual antara kades dengan BPD itulah yang menjadi salah satu pengaruh revisi UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004. Undang-undang ini berupaya membangun karakter korporatis dan harmoni dalam sistem pemerintahan desa. BPD tidak lagi mencerminkan representasi rakyat dan kaum marginal, dan juga tidak lagi menjalankan fungsi check and balances terhadap kepala desa. Hubungan konfliktual kades-BPD pada masa UU No. 22/1999 berubah menjadi hubungan korporatis-harmoni pada masa UU No. 32/2004.

Menurut UU Desa, desa bukan sekadar pemerintahan desa, bukan sekadar pemerintah desa, dan bukan sekadar kepala desa. Namun kepala desa menempati posisi paling penting dalam kehidupan dan penyelenggaraan desa. Ia memperoleh mandat politik dari rakyat desa melalui sebuah pemilihan langsung. Karena itu semangat UU No. 6/2014 adalah menempatkan kepala desa bukan sebagai kepanjangan tangan pemerintah, melainkan sebagai pemimpin masyarakat.  Semua orang berharap kepada kepala desa bukan sebagai mandor maupun komprador seperti di masa lalu, sebagai sebagai pemimpin lokal yang mengakar pada rakyat. Artinya kepala desa harus mengakar dekat dengan masyarakat, sekaligus melindungi, mengayomi dan melayani warga.

Legitimasi (persetujuan, keabsahan, kepercayaan dan hak berkuasa) merupakan dimensi paling dasar dalam kepemimpinan kepala desa. Sebaliknya seorang kepala desa yang tidak legitimate – entah cacat moral, cacat hukum atau cacat politik --  maka dia akan sulit mengambil inisiatif dan keputusan fundamental. Namun legitimasi kepala desa tidak turun dari langit. Masyarakat desa sudah terbiasa menilai legitimasi berdasarkan dimensi moralitas maupun kinerja. Tanpa mengabaikan moralitas, kami menekankan bahwa prosedur yang demokratis merupakan sumber legitimasi paling dasar (Cohen, 1997). Prosedur demokratis dan legitimasi ini bisa disaksikan dalam arena pemilihan kepala desa. Legitimasi kepala desa (pemenang pemilihan kepala desa) yang kuat bila ia ditopang dengan modal politik, yang berbasis pada modal sosial, bukan karena modal ekonomi alias politik uang. Jika seorang calon kepala desa memiliki modal sosial yang kaya dan kuat, maka ongkos transaksi ekonomi dalam proses politik menjadi rendah. Sebaliknya jika seorang calon kepala desa miskin modal sosial maka untuk meraih kemenangan ia harus membayar transaksi ekonomi yang lebih tinggi, yakni dengan politik uang. Kepala desa yang menang karena politik uang akan melemahkan legitimasinya, sebaliknya kepala desa yang kaya modal sosial tanpa politik maka akan memperkuat legitimasinya.

Legitimasi awal itu menjadi fondasi bagi karakter dan inisiatif kepemimpinan kepala desa. Selama ini saya membagi tiga tipe kepemimpinan kepala desa. Pertama, kepemimpinan regresif yakni karakter kepemimpinan yang mundur ke belakang, bahkan bermasalah. Sebagian besar desa parokhial dan sebagian desa-desa korporatis menghasilkan karakter kepemimpinan kepala desa yang regresif ini. Mereka berwatak otokratis, dominatif, tidak suka BPD, tidak suka partisipasi, anti perubahan dan biasa melakukan capture terhadap sumberdaya ekonomi. Jika desa dikuasai kepala desa seperti ini maka desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera sulit tumbuh.

Kedua, kepemimpinan konservatif-involutif yang ditandai dengan hadirnya kepala desa yang bekerja apa adanya (taken for granted), menikmati kekuasaan dan kekayaan, serta tidak berupaya melakukan inovasi (perubahan) yang mengarah pada demokratisasi dan kesejahteraan rakyat. Para kepala desa ini  pada umumnya menikmati kekuasaan yang dominatif dan menguasai sumberdaya ekonomi untuk mengakumulasi kekayaan. Mereka tidak peduli terhadap pelayanan publik yang menyentuh langsung kehidupan dan penghidupan warga. Di sisi lain, sebagian besar kepala desa yang berkuasa di desa-desa korporatis juga menampilkan karakter konservatif-involutif. Mereka hanya sekadar menjalankan rutinitas sehari-hari serta menjalankan instruksi dari atas.

Ketiga, kepemimpinan baru yang inovatif-progresif yang pro perubahan. Di berbagai daerah, kami menemukan banyak kepala desa yang relatif muda dan berpendidikan tinggi (sarjana), yang haus perubahan dan menampilkan karakter inovatif-progresif. Mereka tidak antidemokrasi, sebaliknya memberikan ruang politik (political space) bagi tumbuhnya transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Mereka mempunyai kesadaran baru bahwa komitmen kades terhadap nilai-nilai baru itu menjadi sumber legitimasi bagi kekuasaan yang dipegangnya. Pembelajaran dan jaringan mereka dengan dunia luar semakin menempa kapasitas dan komitmen mereka, sehingga mereka berperan besar mengubah desa korporatis menjadi desa sipil atau desa sebagai institusi publik yang demokratis. Mereka memperbaiki pelayanan publik, mengelola kebijakan dan pembangunan secara demokratis, serta menggerakkan elemen-elemen masyarakat untuk membangkitkan emansipasi lokal dan membangun desa dengan aset-aset lokal.




Kontrol, Keseimbangan dan Akuntabilitas

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan institusi demokrasi perwakilan desa, meskipun ia bukanlah parlemen atau lembaga legislatif seperti DPR. Ada pergeseran (perubahan) kedudukan BPD dari UU No. 32/2004 ke UU No. 6/2014 (Tabel 4.1). Menurut UU No. 32/2004 BPD merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa bersama pemerintah desa, yang berarti BPD ikut mengatur dan mengambil keputusan desa. Ini artinya fungsi hukum (legislasi) BPD relatif kuat. Namun UU No. 6/2014 mengeluarkan (eksklusi) BPD dari unsur penyelenggara pemerintahan dan melemahkan fungsi legislasi BPD. BPD menjadi lembaga desa yang melaksanakan fungsi pemerintahan, sekaligus juga menjalankan fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa serta menyelenggarakan musyawarah desa. Ini berarti bahwa eksklusi BPD dan pelemahan fungsi hukum BPD digantikan dengan penguatan fungsi politik (representasi, kontrol dan deliberasi).

Secara politik musyawarah desa merupakan extended BPD. Pada UU No. 6/2014 tentang Desa, dalam Pasal 1 (ayat 5) disebutkan bahwa Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.  Pengertian tersebut memberi makna betapa pentingnya kedudukan BPD untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, terutama mengawal berlangsungnya forum permusyawaratan dalam musyawarah desa. Kondisi ini yang kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Desa di Bagian Keenam, Pasal 54 (ayat 2), hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud meliputi: a) Penataan Desa; b) Perencanaan Desa; c) Kerja sama Desa; d) Rencana investasi yang masuk ke Desa; e) Pembentukan BUM Desa; f) Penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan g) Kejadian luar biasa.

Tabel 4.1
Kedudukan dan fungsi BPD menurut
UU 32/2004 dan UU 6/2014

No
Komponen
UU No. 32/2004
UU No. 6/2014
1.       
Definisi BPD
Lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan desa
Lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis
2.       
Kedudukan BPD
Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. BPD berwenang dan ikut mengatur dan mengurus desa.
Sebagai lembaga desa yang terlibat melaksanakan fungsi pemerintahan, tetapi tidak secara penuh ikut mengatur dan mengurus desa.
3.       
Fungsi hukum
Fungsi hukum/legislasi kuat: Menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa
Fungsi hukum/legislasi lemah: Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa,
4.       
Fungsi politik
BPD sebagai kanal (penyambung) aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa (Perdes) dan Peraturan Kepala Desa
·         menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa;
·         melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa
·         Menyelenggarakan musyawarah desa

Posisi baru BPD itu akan menimbulkan beberapa kemungkinan plus minus relasi antara kepala desa, BPD dan masyarakat. Pertama, fungsi politik BPD yang menguat akan memperkuat kontrol dan legitimasi kekuasaan kepala desa. Pada saat yang sama musyawarah desa akan menciptakan kebersamaan (kolektivitas) antara pemerintah desa, BPD, lembaga kemasyarakatan dan unsur-unsur masyarakat untuk membangun dan melaksanakan visi-misi perubahan desa. Musyawarah desa juga menghindarkan relasi konfliktual head to head antara kepala desa dan BPD. Kedua, kepala desa yang mempunyai hasrat menyelewengkan kekuasaan bisa mengabaikan kesepakatan yang dibangun dalam pembahasan bersama antara kepala desa dan BPD maupun kesepakatan dalam musyawarah desa. Kepala desa bisa menetapkan APBDes dan Peraturan Desa secara otokratis dengan mengabaikan BPD dan musyawarah desa, meskipun proses musyawarah tetap ditempuh secara prosedural. Tindakan kepala desa ini legal secara hukum tetapi tidak legitimate secara politik. Kalau hal ini yang terjadi maka untuk menyelamatkan desa sangat tergantung pada bekerjanya fungsi politik BPD dan kuasa rakyat (people power).

Memang agak sulit mengkonstruksi hubungan antara kepala desa dan BPD agar mampu menjamin check and balances dan akuntabilitas. Selama ini secara empirik ada empat pola hubungan antara BPD dengan Kepala Desa:

1.      Dominatif: ini terjadi bilamana kepala desa sangat dominan/berkuasa dalam menentukan kebijakan desa dan BPD lemah,karena kepala desa meminggirkan BPD, atau karena BPD pasif atau tidak paham terhadap fungsi dan perannya. Fungsi pengawasan BPD terhadap kinerja kepala desa tidak dilakukan oleh BPD. Implikasinya kebijkan desa menguntungkan kelompok Kepala Desa, kuasa rakyat dan demokrasi desa juga lemah.
2.      Kolutif: hubungan Kepala Desa dan BPD terlihat harmonis yang bersama-sama berkolusi, sehingga memungkinkan melakukan tindakan korupsi. BPD sebagai alat legitimasi keputusan kebijakan desa. Implikasinya kebijakan keputusan desa tidak berpihak warga atau merugikan warga, karena ada pos-pos anggaran/keputusan yang tidak disetujui warga masyarakat. Musyawarah desa tidak berjalan secara demokratis dan dianggap seperti sosialisasi dengan hanya menginformasikan program pembangunan fisik. Warga masyarakat kurang dilibatkan dan bilamana ada komplain dari masyarakat tidak mendapat tanggapan dari BPD maupun pemerintah desa. Implikasinya warga masyarakat bersikap pasif dan membiarkan kebijakan desa tidak berpihak pada warga desa.
3.      Konfliktual: antara BPD dengan kepala desa sering terjadi ketidakcocokan terhadap keputusan desa, terutama bilamana keberadaan BPD bukan berasal dari kelompok pendukung Kepala Desa. BPD dianggap musuh kepala desa, karena kurang memahami peran dan fungsi BPD. Musyawarah desa diselenggarakan oleh pemerintah desa dan BPD tidak dilibatkan dalam musyawarah internal pemerintahan desa. Dalam musyawarah desa tidak membuka ruang dialog untuk menghasilkan keputusan yang demokratis, sehingga menimbulkan konflik.
4.      Kemitraan: antara BPD dengan Kepala Desa membangun hubungan kemitraan. “Kalaui benar didukung, kalau salah diingatkan”, ini prinsip kemitraan dan sekaligus check and balances. Ada saling pengertian dan menghormati aspirasi warga untuk melakukan check and balances. Kondisi seperti ini akan menciptakan kebijakan desa yang demokratis dan berpihak warga.

Pola kemitraan bisa terjerumus ke dalam pola kolutif kalau relasi kades-BPD dilakukan secara tertutup dan tidak ada diskusi yang kritis. Namun jika pola kemitraan berlangsung secara normatif dan terbuka, maka pola ini menjadi format terbaik hubungan antara kepala desa dan BPD. Sesuai anjuran kaum komunitarian, pola kemitraan memungkinkan kades-BPD terus-menerus melakukan deliberasi untuk mengambil keputusan kolektif sekaligus sebagai cara untuk membangun kebaikan bersama.

Demokrasi Melalui Musyawarah Desa

Musyawarah desa (selanjutnya disingkat MD) merupakan institusi dan proses demokrasi deliberatif yang berbasis desa. Secara historis musyawarah desa merupakan tradisi masyarakat lokal Indonesia. Salah satu model musyawarah desa yang telah lama hidup dan dikenal di tengah-tengah masyarakat desa adalah Rapat Desa (rembug Desa) yang ada di Jawa. Dalam tradisi rapat desa selalu diusahakan untuk tetap memperhatikan setiap aspirasi dan kepentingan warga sehingga usulan masyarakat dapat terakomodasi dan sedapat mungkin dapat dihindari munculnya riak-riak konflik di masyarakat. Selain model rapat desa ada bentuk musyawarah daerah-daerah lain seperti Kerapatan Adat Nagari di Sumatera Barat, Saniri di Maluku, Gawe rapah di Lombok, Kombongan di Toraja, Paruman di Bali. Namun tradisi MD  masa lalu cenderung elitis, bias gender dan tidak melibatkan kaum miskin. PNPM Mandiri juga mempunyai MD yang mengutamakan keseteraan gender dan melibatkan kaum miskin. Namun MD ala PNPM ini apolitik dan tidak bekerja dalam sistem desa, melainkan hanya dijalankan untuk merencanakan, melaksanakan dan melaporkan proyek. Kelahiran musyawarah desa dalam UU No. 6/2014 tentang desa berangkat dari kritik terhadap model MD masa lalu dan MD ala PNPM.

Desa sebagai self governing community (SGC) direpresentasikan oleh Musyawarah Desa.
Jika dihadapkan pada teori demokrasi, MD mempunyai empat makna demokrasi. Pertama, MD sebagai wadah demokrasi asosiatif. Artinya seluruh elemen desa merupakan asosiasi yang berdasar pada asas kebersamaan, kekeluargaan dan gotongroyong. Mereka membangun aksi kolektif untuk kepentingan desa. Kekuatan asosiatif ini juga bisa hadir sebagai masyarakat sipil yang berhadapan dengan negara dan modal. Kedua, MD sebagai wadah demokrasi inklusif atau demokrasi untuk semua. Berbagai elemen desa tanpa membedakan agama, suku, aliran, golongan, kelompok maupun kelas duduk bersama dalam MD. Ketiga, MD sebagai wadah demokrasi deliberatif. Artinya MD menjadi tempat untuk tukar informasi, komunikasi, diskusi atau musyawarah untuk mufakat mencari kebaikan bersama. Keempat, MD mempunyai fungsi demokrasi protektif. Artinya MD membentengi atau melindungi desa dari intervensi negara, modal atau pihak lain yang merugikan desa dan masyarakat. Sebagai contoh, investasi yang masuk desa – terutama investasi yang berpotensi berdampak sosial dan lingkungan secara serius – harus diputuskan oleh MD.


Organisasi, Representasi dan Partisipasi Warga

Institusi parokhial (keagamaan dan kekerabatan), institusi asli (adat), dan institusi korporatis (lembaga kemasyarakatan) bukan sederet institusi demokrasi untuk memperkuat kedaulatan rakyat desa. Meskipun lembaga kemasyarakatan disiapkan sebagai wadah partisipasi, tetapi partisipasi melalui wadah ini merupakan bentuk mobilisasi solidaritas sosial terhadap kader desa untuk melayani masyarakat. BPD merupakan institusi demokrasi desa paling dekat dengan pemerintah desa, yang harus ada tetapi tidak cukup untuk memperkuat kedaulatan rakyat, sebab elitisme selalu hadir sebagai jebakan dalam institusi perwakilan semacam BPD. Musyawarah desa bisa menjadi institusi yang bisa memperluas representasi dan partisipasi, sekaligus memperkuat kedaulatan rakyat. Namun musyawarah desa akan kehilangan makna, bahkan bisa lemah syahwat, jika tidak ditopang warga yang kuat. “Warga masyarakat yang terorganisir ke dalam kelompok-kelompok yang padu”, demikian ungkap Francis Fukuyama (2005), “jauh lebih mungkin menuntut dan menerima pertanggungjawaban ketimbang masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang tidak terorganisir”.

Organisasi warga itu kami sebut sebagai civil institution, sebuah institusi lokal yang dibentuk secara mandiri oleh warga, untuk memerhatikan isu-isu publik (yang melampaui isu-isu parokhial dan adat-istiadat) serta sebagai wadah representasi dan partisipasi mereka untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka. Spirit kewargaan – sebagai jantung strong democracy – hadir dan dihadirkan oleh organisasi-organisasi warga atau organisasi masyarakat sipil di ranah desa. Salah satu contoh organisasi warga adalah community center atau bisa juga disebut sebagai pusat kemasyarakatan.

Kehadiran organisasi warga di ranah desa ini tentu merupakan lompatan baru, sebab selama puluhan tahun desa korporatis hanya mengenal lembaga-lembaga korporatis (PKK, Karang Taruna, RT, RW dan sebagainya). Dalam ranah demokrasi, organisasi warga menjadi arena representasi dan partisipasi, baik kaum perempuan maupun warga miskin, untuk memperjuangkan kepentingan dan hak-hak dasar mereka. Mereka tidak hanya berpartisipasi secara pasif melalui wadah invited space, tetapi juga berpartisipasi secara aktif melalui pola popular participation. Secara horizontal, sesama warga melakukan pembelajaran, deliberasi, dan membangun kesadaran kolektif, maupun secara mandiri memberikan pelayanan kepada warga. Secara vertikal, mereka melakukan engagement dengan pemimpin desa, memainkan politik representasi dalam Musrenbang, menuntut pelayanan publik lebih baik, mendesak alokasi dana untuk berbagai kepentingan (pembiayaan Posyandu, dukungan untuk ketahanan pangan, penyediaan air bersih, dan lain-lain).

Sumber :  Materi Pembekalan Pendampingan Desa, 2015
Kami juga menjual dan mempunyai artikel yang lain:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar